SALAH satu postulat umum dibentuknya sebuah lembaga ialah untuk mengerjakan hal-hal yang belum terselesaikan atau terpecahkan dalam waktu yang cepat. Lembaga dibentuk semestinya merupakan keniscayaan karena kebutuhan, bukan didorong musabab yang lain. Namun, dalil umum itu tak berlaku di negeri ini. Banyak badan, lembaga negara nonstruktural, satuan tugas, dan rupa-rupa institusi baru muncul bukan didasarkan kebutuhan. Bahkan dalam hal tertentu, banyak lembaga negara dibentuk tidak berdasarkan desain konstitusional yang dapat menjadi payung hukum keberadaannya. Lembaga-lembaga itu diciptakan berdasarkan isu-isu parsial, insidental, dan sebagai jawaban khusus terhadap persoalan jangka pendek. Tidak mengherankan bila lembaga-lembaga itu muncul sangat cepat. Data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara mencatat ada 87 lembaga nonstruktural terbentuk sejak era Presiden Abdurrahman Wahid hingga era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu dari 1999 sampai 2014.
Salah satu alasan yang menonjol dalam pembentukan lembaga itu ialah hilangnya public trust atas organ resmi, buah dari politik korporatisme negara di era Orde Baru. Tidak peduli apakah lembaga baru itu tumpang-tindih dengan lembaga yang ada, asal ‘dianggap’ menjawab ketidakpercayaan atas lembaga yang lama, langsung saja didirikan. Akibatnya terjadi inflasi lembaga. Selain itu, anggaran negara triliunan rupiah pun digelontorkan demi menghidupi lembaga yang sebagian besar tidak efisien, tak efektif, dan bahkan tidak rasional itu.
Sejumlah lembaga yang awalnya didesain bersifat ad hoc bahkan tak jelas kapan berakhir masa tugasnya karena memang tidak jelas target dan tujuannya. Sudah begitu, lembaga-lembaga tersebut terus dipelihara pula. Beruntung, pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla cepat tanggap untuk mengevaluasi lembaga-lembaga negara itu. Presiden Jokowi bahkan telah membubarkan 10 lembaga pemerintah nonstruktural melalui Perpres No 176 Tahun 2014. Di antara 10 lembaga tersebut ialah Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, Dewan Gula Indonesia, dan Komisi Hukum Nasional. Setelah dibubarkan, tugas dan fungsi lembaga-lembaga tersebut diambil alih oleh kementerian terkait. Misalnya, tugas dan fungsi Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat bakal dilaksanakan Kementerian Sosial.
Tidak berhenti di situ, pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tengah mengkaji ulang keberadaan 77 lembaga nonkementerian dan nonstruktural yang dinilai tidak bermanfaat sehingga memboroskan anggaran. Ada 40 lembaga nonkementerian dan 37 lembaga nonstruktural yang setiap tahun menghabiskan biaya sekitar Rp10 triliun, tetapi pekerjaan mereka mestinya bisa dilakukan lembaga yang sudah ada.
Kita mengapresiasi langkah cepat pemerintah tersebut. Kita tegaskan bahwa kita bukan anti terhadap pembentukan lembaga. Terhadap lembaga-lembaga yang memang sangat dibutuhkan kehadirannya, tentu niscaya dipertahankan bahkan ditambah anggarannya. Sudah tiba waktunya negeri ini mengakhiri rupa-rupa ‘kesia-siaan’ yang hanya menghasilkan pemborosan dan mengalihkannya untuk membuka pintu-pintu pendorong kesejahteraan.
Sumber: http://www.mediaindonesia.com/editorial/view/313/Mengakhiri-Lembaga-Boros/2015/01/06