Pemerintah Pusat

“REMUNERASI BIROKRASI”, SALAH KAPRAH PERCEPATAN RB

Reformasi birokrasi pada hakikatnya dilakukan sebagai upaya berkelanjutan yang setiap tahapannya memberikan perubahan dan perbaikan birokrasi ke arah yang lebih baik. Dalam grand design RB 2010-2025, diharapkan tahun 2014 telah dapat dicapai pengiatan pada profesionalisme SDM aparatur yang didukung oleh sistem rekrutmen dan promosi aparatur yang berbasis kompetensi, transparan, dan mampu mendorong mobilitas aparatur antardaerah, antarpusat, dan antara pusat dengan daerah, serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan yang sepadan. Menindaklanjutinya, terdapat perubahan system penggajian dari skala ganda ke single salary, yaitu diterapkannya penggajian berdasarkan kinerja. Dalam buku “Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi” (2011), Agus Dwiyanto menyebut bahwa system penggajian berskala ganda cenderung tidak sehat dan tidak adil karena hanya menguntungkan bagi aparatur yang menduduki jabatan structural. Gaji pokok relative lebih kecil daripada take home pay sehingga membuat pegawai menjadi gelisah ketika memasuki masa pensiun dan takut kehilangan jabatan. Seiring dengan dimulainya penerapan single salary yang diwujudkan dengan tunjangan kinerja berdasarkan bobot atau grade jabatan, setiap pegawai berusaha mengejar tunjangan yang (katanya) memang berdasar pada capaian kinerja masing-masing jabatan.

 

Sayangnya, Di beberapa lembaga pemerintah, tunjangan kinerja diberikan masih berdasar pada jumlah jam kerja yang dipenuhi oleh pegawai. Dalam artian, seorang pegawai harus bekerja dari jam 7.30 sampai dengan 16.00 (jumlah jam kerja PNS dalam seminggu adalah 37,5 jam berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor : PER/87/M.PAN/8/2005 tentang Pedoman Peningkatan Pelaksanaan Efisiensi, Penghematan Dan Disiplin Kerja). Jika terlambat, konsekuensinya adalah tunjangan yang terpotong. Euphoria atas penerimaan tunjangan kinerja yang lebih akrab disebut dengan remunerasi sangat terasa dengan panjangnya antrian pegawai ketika harus melakukan finger scan kedatangan dan kepulangan. Semangat untuk disiplin kedatangan dan kepulangan ini memang cukup bagus bagi peningkatan disiplin. Namun, disiplin tidak hanya sampai pada ketepatan waktu kedatangan dan kepulangan saja. Kinerja yang dicapai diantara waktu tersebutlah yang sangat dibutuhkan. Ironinya  masih banyak pegawai yang tidak berada di tempat di antara jam tersebut, entah di mana. Hal tersebut semakin memperbesar tanda tanya bagaimana dengan beban kerja yang harus diselesaikan hari itu, minggu itu, bulan itu?

 

Berbagai sosialisasi tentang RB tidak terlewat untuk diadakan, sebagai bagian dari kegiatan percepatan RB itu sendiri. Namun sayangnya tema yang diangkat adalah tentang tunjangan kinerja. Seolah-olah reformasi birokrasi adalah remunerasi. Kalau sudah melaksanakan remunerasi berarti sudah melaksanakan reformasi birokrasi. Tidak bisa dipungkiri, itulah yang terjadi pada beberapa lembaga pemerintah saat ini. Bisa dibilang RB adalah bukan lagi sebagai reformasi birokrasi, namun, RB adalah Remunerasi Birokrasi.

Ke depan, perlu rumusan yang tepat tentang kinerja pegawai, sehingga tunjangan ini tidak lagi salah kaprah. Apabila ukuran kinerja belum dirumuskan dengan baik serta penempatan jabatan belum dilakukan secara terbuka dan berbasis pada kompetensi dan prestasi kerja, maka system remunerasi yang seperti itu justru berpotensi merusak orientasi dari aparatur birokrasi dan membentuk budaya birokrasi yang tidak sehat (Dwiyanto: 2011:193). Pengukuran kinerja yang pasti sangatlah diperlukan sebelum gejala penyakit akibat RB berkembang menjadi lebih serius. Perbaikan penggajian memang diperlukan untuk peningkatan kesejahteraan, yang diharapkan, pegawai dapat lebih focus terhadap tugas pokok dan fungsi masing-masing. Namun lebih lanjut disebutkan oleh Dwiyanto (2011:194) reformasi birokrasi tidak sekedar itu, namun dibutuhkan juga pembenahan pada aspek birokrasi lainnya, seperti peningkatan profesionalisme, perampingan struktur birokrasi, serta peningkatan produktivitas dan kinerja birokrasi. (dea)